Minggu, 29 Maret 2015
KAMU DAN AKU BERHENTI BANTING BANTINGAN
Bangunan
megah dengan font besar yang terpampang jelas “Istana Bandung Elektronic Center”
sangat menegaskan dialah istana yang bisa memenuhi kebutuhan setiap orang terhadap
elektronic.Tentunya ada harga yang fantastis untuk sebuah tempat usaha disini. Jika
menyebutkan nominal, tiga juta enam ratus rupiah hanya untuk sewa satu bulan etalase
yang lebarnya 1 meter. Singkatnya,jejeran conter para kompetitor menimbulkan pandangan
dari diri mereka sendiri, mau dibawa kemana kita ini “Friend or Enemy” dalam
mencari sebuah keuntungan bersih.
Pedagang yang menyalahi sebuah etika bisnis
karena biaya sewa yang amat tinggi akan banyak ditemukan,seperti halnya
pedagang yang menurunkan harga penjualan sebuah handphone kedasar yang paling
rendah asalkan barangnya hari ini ada yang laku saja ataupun cepat laku.
Tentunya hal ini berdampak besar bagi pedagang-pedagang menganut prinsip
standar harga yang sama antar pedagang.
Sederhananya conter dengan harga yang murah akan lebh ramai dikunjungi para
pembeli,lalu bagaimana dengan pedagang yang kecolongan dengan tingkah laku
pedagang-pedangang yang tidak menerapkan etika bisnis?
Forum
komunikasi pedagang handphone BEC atau
FKPHPB,seperti yang dikatakan Anand Khan saat ulang tahun pertama FKPHPB,selaku
ketua FKPHPB “dengan menjadi
anggota,pihaknya akan menjaga keamanan dan kesejahteraan para pedagang” .
Komunikasi intens antar pedagang
yang dibangun melalui forum ini akan
meredahkan konflik-konflik bahkan perang dingin antar sesama pedagang.
Perubahan
prilaku pedagang yang tergabung dalam keanggotaan FKPHBPB, yang dulunya tidak
menunjung tinggi sebuah etika bisnis kini seiring percakapan intens di dalam
forum,pemahaman-pemahaman tentang pentingnya persatuan pedagang dalam
menentukan harga menjadi pijakan para pedagang BEC mencapai kesejahteraan mulai
tertanam dalam diri anggota FKPHPB.
Tidak
hanya berhenti dipedagang yang menetap disitu saja, bagi seorang mahasiwa yang sejak awal bekerja
sebagai resseler hanphone di BEC(Bandung Elektronik Center), ia turut merasakan
dampak pentingnya sebuah forum komunikasi pedagang, ia bisa belajar dengan
melihat kemudian mempelajari dari rekan-rekan bisnis nya bahkan bosnya yang
sering kali menggunakan baju yang bertuliskan FKPHPB yang terlibat dalam sebuah
obrolan akrab, ia bisa menangkap jelas obrolan kongko yang memiliki sense
keuntuhan pedagang BEC.
Ayo
para pedagang,bergerak dibidang mana pun dia.Mari kita bangun bersama sebuah
komunikasi intens para pedagang,apapun itu. Karena pada dasarnya perdamaian,
tidak adanya perang dingin antar pedagang itu indah. Kerjasama yang berlangsung
kontinu antar pedagang dampaknya akan
sangat besar bagi kesejahteraan pedagang itu sendiri. Mari kita
bangun lagi komunikasi-komunikasi intens sesama pedagang yang akhir-akhir ini
ditinggalkan oleh para pedagang , karena mereka sibuk mengejar sebuah
keuntungan bersih.
Kenapa Selalu Seperti Ini?
Kekerasan merupakan
tingkah laku yang melanggar norma-norma sosial dan bertentangan dengan moral
kemanusaiaan yang ada pada negara maupun agama. Namun yang menjadi sorotan kali
ini adalah mengenai kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan terhadap wanita
remaja, dewasa, dan juga anak-anak.
Fenomena ini paling
sering terjadi di belahan bumi manapun, sebagai contoh kasus yang baru-baru ini
terjadi adalah kasus perampokan dan
pemerkosaan oleh seorang biarawati dari sekolah misionaris berumur 71 tahun di
Kalkuta , India. Kasus ini menambah deretan pemerkosaan yang terjadi pada
wanita khususnya di India. Tidak hanya di India saja, di Indonesia pun juga tak
luput dari tindakkan pemerkosaan. Salah satunya yang baru-baru terjadi adalah
pemerkosaan siswi SMA di kota Bandung berumur 16 tahun oleh 4 orang pria yang
salah satu pelakunya merupakan mantan atlet tinju. Dan juga yang paling
memilukan adalah kasus pemerkosaan pada tahun 2014 lalu, dimana sang ayah tega
memperkosa anak kandung yang masih berumur 13 tahun ketika istri sedang mencari
nafkah. Tragisnya si ayah tersebut melakukan hal keji tersebut selama 4 bulan
dan sebanyak 35 kali. Sungguh keji, tapi inilah realita yang harus kita terima.
Seperti yang kita
ketahui bahwa kekerasan seksual khususnya pemerkosaan dapat mengakibatkan
cedera fisik bagi wanita itu sendiri. Dan hal yang terburuk adalah kehamilan
yang tidak diinginkan, dimana kehamilan tersebut akan menjadi beban yang harus
dipikul baik terhadap korban maupun keluarganya dalam menghadapi kehidupan
selanjutnya karena dia harus membesarkan dan mengasuh anak hasil perkosaan,
yang pada umumnya orang-orang mengatakan “anak haram”. Dampak lainnya yang
dapat terjadi adalah stress akut atau depresi berat yang kadang menyebabkan
korban menjadi gila karena merasa dirinya tidak normal lagi, kotor, berdosa dan
tidak berguna. Selain itu perkosaan juga dapat mengakibatkan kematian apabila
korban merasa putus asa dan tidak dapat menahan tekanan, atau bisa juga
tertular penyakit seksual yang tidak dapat disembuhkan. Hal ini menunjukkan
bahwa korban perkosaan menanggung penderitaan psikologis yang berat karena
kekerasan yang dialaminya.
Dari fenomena yang ada muncul pertanyaan, kenapa hal
tersebut? dan bagaimana bisa?
Banyak orang beranggapan bahwa kasus kekerasan seksual,
dalam hal ini pemerkosaan terhadap wanita
terjadi karena faktor wanita sendiri. Dan yang sering menjadi poin
permasalahan adalah karena faktor cara berpakaian wanita itu sendiri dan nafsu
seks pria tak terkendali apabila dan setelah melihat wanita berpakaian mini.
Statement ada benarnya juga, akan tetapi bagaimana dengan negara-negara yang
berada di Timur Tengah yang sebagian wanitanyanya hampir menutup aurat? Apakah
tidak ada tindak pemerkosaan di sana?
Perlu ditekankan, jangan beranggapan penuh bahwa wanita
satu-satunya penyebab utama terjadinya kasus tersebut. Persepsi dan opini
tentang wanita penyebab utama sering diumbar-umbarkan ketika terjadi kasus
tersebut. Pemikiran dangkal dan sederhana ini hanyalah anggapan semata tanpa
adanya dasar yang kuat dan tidak melakukan riset dan penelitian. Hal ini
seakan-akan sepenuhnya wanitalah yang menyebabkan sebuah pemerkosaan terjadi.
Sudah menjadi korban pemerkosaan dan disalahkan juga sebagai penyebabnya.
Apakah ini adil ?
Sebenarnya ada faktor lain yang menyebabkan terjadinya
kasus pemerkosaan. Salah satu di antaranya pergaulan sehari-hari dan lingkungan
juga, bagaimana kita berinteraksi dan dengan siapa kita menghabiskan waktu
serta berinteraksi sosial setiap harinya. Didukung pula dengan penggunaan media
sosial yang ada.
Dan faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan adalah
motif dari si pelaku, situasi, dan kesempatan. Pada contoh kasus yang sudah
dipaparkan ada beberapa tindakan pemerkosaan yang dilakukan karena adanya
faktor yang sudah disebutkan. Berbeda dari tujuan awal pelaku yang mungkin
sebenarnya hanya ingin melakukan satu tindak kejahatan, akan tetapi melihat
adanya situasi, dan kesempatan maka pelaku tidak segan untuk melakukan tindak
asusila tersebut.
Namun mengacu pada realita yang ada, tidak sedikit pelaku
pemerkosaan mendapatkan hukuman yang dirasa tidak sesuai dengan apa yang telah
mereka perbuat, hal ini tidak dapat memberikan efek jera pada si pelaku yang
pada akhirnya melakukan hal yang sama kembali pada korban lainnya.
Kekerasan seksual
tidak pandang bulu. Tidak memandang umur, status sosial, kerabat maupun
kedudukan. Bisa saja ini terjadi pada teman kita, anggota keluarga kita, atau
pun orang-orang yang berada di sekitar kita. Lalu bagaimana bila hal ini
terjadi pada kita, keluarga kita, teman-teman kita, dan orang disekitar kita?
Merasakan beban dan derita perih yang tidak ingin kita rasakan. Tentu hal ini
tidak ingin kita alami. Dan pertanyaan yang paling penting, apa yang harus kita
lakukan? Menerimanya?
Sumber
: detik.com, kompas.com, bbc.com, kompasiana.com
PPDB Jalur Afirmasi Sulitkan Anak Panti asuhan Daftar
“ Syarat administratif jalur tidak mampu pada penerimaan siswa baru (PPDB) tidak bisa digeneralisir untuk semua anak hingga miskin toleransi, apalagi pada kasus panti asuhan, tidak semua hal bisa dipenuhi. Seharusnya, seluruh pihak pemerintah tidak hanya asal membuat kebijakan yang membabi buta dan membatasi hak anak. Syarat ini, harus ditinjau ulang, agar semua anak dapat menikmati hak pendidikan tanpa terkecuali,”.
Surat keterangan tidak mampu (SKTM) kota Bandung menjadi
salah satu syarat mutlak bagi siswa yang ingin mendaftarkan dirinya ke sekolah
idaman melalui jalur afirmasi. Surat tersebut ternyata menyulitkan pihak
yayasan untuk mendaftarkan anak asuhnya. Pasalnya, banyak dari mereka yang
berasal dari luar daerah, namun sudah lama tinggal di panti yang berdomisili di
kota Bandung.
Hal ini dirasa menghambat upaya pengurus saat
mendaftarkan anak asuhnya, apalagi beberapa hal administratif lain yang tidak
lebih mudah pun harus kami penuhi. Sat PPDB yang berlangsung bulan Juli
kemarin, pendaftar wajib memiliki SKTM
Bandung, Fotokopy KTP orang tua dan Kartu keluarga (KK) legalisir serta akte
kelahiran.
Bukan hal yang mudah bagi pihak yayasan untuk melengkapi
prasarat tersebut. Misal saja untuk kartu keluarga, yayasan harus membuat satu
persatu surat pindah dari daerah asal anak ke panti sebagai prasarat. Padahal,
berdasarkan peraturan dari kementrian sosial mengenai Standar Nasional
Pengasuhan anak bahwa panti bukan tempat permanen dan tidak boleh lebih dari 18
tahun. Setiap saat anak bisa saja kembali pada orang tua jika memungkinkan atau
mendapatkan keluarga asuh.
Benang kusut syarat
administratif jalur afirmasi
Panti asuhan memiliki latar belakang anak yang beraneka
ragam, mulai dari yatim piatu/Dhuafa hingga belum jelas asal usulnya. Butuh
waktu yang tak sebentar untuk pihak yayasan mencari asal usul anak.
Sedangkan, mereka masih punya hak yang tidak bisa ditunda. Ya, salah satunya
adalah sekolah. Tak sampai hati yayasan harus mencantumkan mereka anak hilang
dalam surat pernyataan. Tak heran, setiap tahun data kami fluktuatif, ada yang
menemukan keluarga baru, kembali pada keluarganya atau bahkan masih di panti.
hal yang mustahil dan cukup kejam bagi kami membuat satu persatu surat pindah.
Dalam pernyataan sebelumnya bahwa syarat utuk alur
afirmasi, yayasan wajib memiliki SKTM bandung, Fotokopy kartu keluarga dan KTP
legalisir, serta akte kelahiran anak.
Permasalahan muncul ketika akan membuat SKTM bandung.
Dalam prasarat, yayasan wajib memiliki kartu keluarga, sedangkan anak dalam
yayasan tidak secara permanen dalam panti, suatu saat bisa saja pindah. Tapi,
kelurahan mewajibkan agar setiap anak memiliki satu persatu surat pindah ke
bandung untuk memiliki kartu keluarga. Jelas tidak mungkin, selain jumlah anak
yang tidak satu dan tetap, mereka takkan selamanya di panti. Jika begitu, dalam
setahun, yayasan bisa saja membuat 3 kali bahkan lebih perubahan kartu keluarga
dan surat pindah, dan jelas hal ini sangat tidak memungkinkan.
Ketika yayasan tidak bisa menghadirkan surat pindah, tak
bisa pula kami membuat kartu keluarga. Sedangkan, untuk membuat SKTM bandung,
wajib memiliki kartu keluarga. Dalam artian, jangankan legalisir, membuat saja
sudah mustahil. Alhasil, terimakasih pemerintah sudah membuat yayasan harus
bekerja ekstra keras dan memutar otak untuk mengantarkan anak asuhnya ke
gerbang pendidikan yang lebih tinggi.
Tidak berhenti dengan sekelumit masalah kartu keluarga
dan SKTM. Akte kelahiran pun menjadi bahan pertimbangan. Kami pun tidak
menampik bahwa masih ada anak yang tidak jelas identitasnya, dan lagi lagi
syarat untuk membuat akte kelahiran menurut Dinas kependudukan diharuskan
adanya surat keterangan lahir dari bidan, buku nikah hingga KTP orang tua, bila
tak ada, maka anak akan dicantumkan sebagai anak hilang dalam akte kelahiran.
Tak sampai hati kami harus membuatkan akte kelahiran dengan status anak hilang
dari kepolisian, padahal kemungkinan untuk menemukan orang tua masih ada.
Masih perlukah yayasan membuat
SKTM?
Hal yang paling membuat yayasan mengkerinyetkan kening
dan mengelus dada adalah mengenai tidak berpengaruhnya legitimasi sebagai
yayasan yang telah dikeluarkan oleh Dinas Sosial. Bukan hanya itu, yayasan pun
sudah mengeluarkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa anak didiknya memang
betul betul berasal dari panti asuhan dan wajib untuk dibantu. Namun, birokrasi
tetaplah birokrasi, sekolah menolak ketika tidak adanya SKTM dengan landasan
menaati aturan yang ditetapkan.
Lagi lagi, ini bukan masalah permintaan belas kasihan
untuk digratiskan, namun lebih kepada penyadaran tanggung jawab pemeritah dalam
membantu warganya untuk mendapatkan hak pendidikan. Pasal 34 serta konvensi hak
anak sudah jelas mengatur mengenai tidak adanya pengecualian bagi siapapun
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, tidak digeneralisir, harus
disesuaikan dengan keadaan yang menyangkut masyarakat itu sendiri.
Landasan lain yang
memperkuat ketika melihat potensi dari anak didik yang berbeda-beda. Yayasan
jelas berupaya memaksimalkan anak untuk mendapatkan tempat sesuai dengan
kategorisasi keahlian. Tak sampai hati pula kami mengkolektifkan anak untuk
masuk ke satu sekolah yang sama dan jelas tak sesuai dengan passion mereka.
Hal ini dirasa sebagai kebijakan yang tidak inklusif, tak
bisa diaplikasikan untuk semua kalangan. Kebijakan yang buta akan aspek sosial,
tidak komprehensif memandang seluruh masyarat yang akan melanjutkan pendidikan.
Belum lagi masalah sosial yang lain, ini masih panti asuhan yang legalitas
lembaganya bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana dengan anak jalanan, anak
dalam perlindungan serta korban perang? Masih menjadi PR besar dalam merumuskan
sebuah kebijakan.
Seharusnya, aturan SKTM dalam PPDB jalur afirmasi ini
dibuat ketat untuk mereka yang tinggal di dalam lingkungan masyarakat untuk
menghindari kecurangan. Bagi yayasan, surat pernyataan dari panti itu sendiri,
legitimasi dinas sosial serta kementrian sosial, keterangan domisili dari
kelurahan setempat seharusnya bisa menggantikan kedudukan SKTM yang hanya
berasal dari kelurahan.
Memang, hal ini bukan kesalahan dari sekolah tujuan,
mereka hanya melaksanakan tugas sesuai dengan surat edaran akan kebijakan baru.
Beberapa panitia PPDB pun mengaku hanya menaati prosedur sebagai kewajiban
dalam melaksanakan tugas.
Sistem PPDB yang menekankan pada rayonisasi (wilayah)
kami dukung untuk menekan biaya transportasi yang harus dikeluarkan yayasan,
tapi lagi lagi hal ini juga harus dipikirkan secara merata dan komprehensif,
cocok apa tidak, sehingga tidak miskin toleransi.
Yayasan pun berharap agar
pemerintah dalam membuat kebijakan harus secara menyeluruh, komprehensif, tidak
mengeneralisir, agar bisa diaplikasikan untuk semua pihak termasuk anak dalam
pengasuhan yayasan. Bukan niat untuk meminta dikasihani, hanya membuka akses
pendidikn, selebihnya biarkan yayasan yang berusaha sendiri. []Ipah