“ Syarat administratif jalur tidak mampu pada penerimaan siswa baru (PPDB) tidak bisa digeneralisir untuk semua anak hingga miskin toleransi, apalagi pada kasus panti asuhan, tidak semua hal bisa dipenuhi. Seharusnya, seluruh pihak pemerintah tidak hanya asal membuat kebijakan yang membabi buta dan membatasi hak anak. Syarat ini, harus ditinjau ulang, agar semua anak dapat menikmati hak pendidikan tanpa terkecuali,”.
Surat keterangan tidak mampu (SKTM) kota Bandung menjadi
salah satu syarat mutlak bagi siswa yang ingin mendaftarkan dirinya ke sekolah
idaman melalui jalur afirmasi. Surat tersebut ternyata menyulitkan pihak
yayasan untuk mendaftarkan anak asuhnya. Pasalnya, banyak dari mereka yang
berasal dari luar daerah, namun sudah lama tinggal di panti yang berdomisili di
kota Bandung.
Hal ini dirasa menghambat upaya pengurus saat
mendaftarkan anak asuhnya, apalagi beberapa hal administratif lain yang tidak
lebih mudah pun harus kami penuhi. Sat PPDB yang berlangsung bulan Juli
kemarin, pendaftar wajib memiliki SKTM
Bandung, Fotokopy KTP orang tua dan Kartu keluarga (KK) legalisir serta akte
kelahiran.
Bukan hal yang mudah bagi pihak yayasan untuk melengkapi
prasarat tersebut. Misal saja untuk kartu keluarga, yayasan harus membuat satu
persatu surat pindah dari daerah asal anak ke panti sebagai prasarat. Padahal,
berdasarkan peraturan dari kementrian sosial mengenai Standar Nasional
Pengasuhan anak bahwa panti bukan tempat permanen dan tidak boleh lebih dari 18
tahun. Setiap saat anak bisa saja kembali pada orang tua jika memungkinkan atau
mendapatkan keluarga asuh.
Benang kusut syarat
administratif jalur afirmasi
Panti asuhan memiliki latar belakang anak yang beraneka
ragam, mulai dari yatim piatu/Dhuafa hingga belum jelas asal usulnya. Butuh
waktu yang tak sebentar untuk pihak yayasan mencari asal usul anak.
Sedangkan, mereka masih punya hak yang tidak bisa ditunda. Ya, salah satunya
adalah sekolah. Tak sampai hati yayasan harus mencantumkan mereka anak hilang
dalam surat pernyataan. Tak heran, setiap tahun data kami fluktuatif, ada yang
menemukan keluarga baru, kembali pada keluarganya atau bahkan masih di panti.
hal yang mustahil dan cukup kejam bagi kami membuat satu persatu surat pindah.
Dalam pernyataan sebelumnya bahwa syarat utuk alur
afirmasi, yayasan wajib memiliki SKTM bandung, Fotokopy kartu keluarga dan KTP
legalisir, serta akte kelahiran anak.
Permasalahan muncul ketika akan membuat SKTM bandung.
Dalam prasarat, yayasan wajib memiliki kartu keluarga, sedangkan anak dalam
yayasan tidak secara permanen dalam panti, suatu saat bisa saja pindah. Tapi,
kelurahan mewajibkan agar setiap anak memiliki satu persatu surat pindah ke
bandung untuk memiliki kartu keluarga. Jelas tidak mungkin, selain jumlah anak
yang tidak satu dan tetap, mereka takkan selamanya di panti. Jika begitu, dalam
setahun, yayasan bisa saja membuat 3 kali bahkan lebih perubahan kartu keluarga
dan surat pindah, dan jelas hal ini sangat tidak memungkinkan.
Ketika yayasan tidak bisa menghadirkan surat pindah, tak
bisa pula kami membuat kartu keluarga. Sedangkan, untuk membuat SKTM bandung,
wajib memiliki kartu keluarga. Dalam artian, jangankan legalisir, membuat saja
sudah mustahil. Alhasil, terimakasih pemerintah sudah membuat yayasan harus
bekerja ekstra keras dan memutar otak untuk mengantarkan anak asuhnya ke
gerbang pendidikan yang lebih tinggi.
Tidak berhenti dengan sekelumit masalah kartu keluarga
dan SKTM. Akte kelahiran pun menjadi bahan pertimbangan. Kami pun tidak
menampik bahwa masih ada anak yang tidak jelas identitasnya, dan lagi lagi
syarat untuk membuat akte kelahiran menurut Dinas kependudukan diharuskan
adanya surat keterangan lahir dari bidan, buku nikah hingga KTP orang tua, bila
tak ada, maka anak akan dicantumkan sebagai anak hilang dalam akte kelahiran.
Tak sampai hati kami harus membuatkan akte kelahiran dengan status anak hilang
dari kepolisian, padahal kemungkinan untuk menemukan orang tua masih ada.
Masih perlukah yayasan membuat
SKTM?
Hal yang paling membuat yayasan mengkerinyetkan kening
dan mengelus dada adalah mengenai tidak berpengaruhnya legitimasi sebagai
yayasan yang telah dikeluarkan oleh Dinas Sosial. Bukan hanya itu, yayasan pun
sudah mengeluarkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa anak didiknya memang
betul betul berasal dari panti asuhan dan wajib untuk dibantu. Namun, birokrasi
tetaplah birokrasi, sekolah menolak ketika tidak adanya SKTM dengan landasan
menaati aturan yang ditetapkan.
Lagi lagi, ini bukan masalah permintaan belas kasihan
untuk digratiskan, namun lebih kepada penyadaran tanggung jawab pemeritah dalam
membantu warganya untuk mendapatkan hak pendidikan. Pasal 34 serta konvensi hak
anak sudah jelas mengatur mengenai tidak adanya pengecualian bagi siapapun
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, tidak digeneralisir, harus
disesuaikan dengan keadaan yang menyangkut masyarakat itu sendiri.
Landasan lain yang
memperkuat ketika melihat potensi dari anak didik yang berbeda-beda. Yayasan
jelas berupaya memaksimalkan anak untuk mendapatkan tempat sesuai dengan
kategorisasi keahlian. Tak sampai hati pula kami mengkolektifkan anak untuk
masuk ke satu sekolah yang sama dan jelas tak sesuai dengan passion mereka.
Hal ini dirasa sebagai kebijakan yang tidak inklusif, tak
bisa diaplikasikan untuk semua kalangan. Kebijakan yang buta akan aspek sosial,
tidak komprehensif memandang seluruh masyarat yang akan melanjutkan pendidikan.
Belum lagi masalah sosial yang lain, ini masih panti asuhan yang legalitas
lembaganya bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana dengan anak jalanan, anak
dalam perlindungan serta korban perang? Masih menjadi PR besar dalam merumuskan
sebuah kebijakan.
Seharusnya, aturan SKTM dalam PPDB jalur afirmasi ini
dibuat ketat untuk mereka yang tinggal di dalam lingkungan masyarakat untuk
menghindari kecurangan. Bagi yayasan, surat pernyataan dari panti itu sendiri,
legitimasi dinas sosial serta kementrian sosial, keterangan domisili dari
kelurahan setempat seharusnya bisa menggantikan kedudukan SKTM yang hanya
berasal dari kelurahan.
Memang, hal ini bukan kesalahan dari sekolah tujuan,
mereka hanya melaksanakan tugas sesuai dengan surat edaran akan kebijakan baru.
Beberapa panitia PPDB pun mengaku hanya menaati prosedur sebagai kewajiban
dalam melaksanakan tugas.
Sistem PPDB yang menekankan pada rayonisasi (wilayah)
kami dukung untuk menekan biaya transportasi yang harus dikeluarkan yayasan,
tapi lagi lagi hal ini juga harus dipikirkan secara merata dan komprehensif,
cocok apa tidak, sehingga tidak miskin toleransi.
Yayasan pun berharap agar
pemerintah dalam membuat kebijakan harus secara menyeluruh, komprehensif, tidak
mengeneralisir, agar bisa diaplikasikan untuk semua pihak termasuk anak dalam
pengasuhan yayasan. Bukan niat untuk meminta dikasihani, hanya membuka akses
pendidikn, selebihnya biarkan yayasan yang berusaha sendiri. []Ipah
0 komentar:
Posting Komentar